S(o)bat

Siang ini pikiranku kosong. Setelah selesai mandi dan memberi makan Caesar, husky kesayanganku, kunyalakan motor dan kutarik gas melewati perumahan komplek menuju jalan utama. Berkendara tanpa tujuan, kubiarkan stang setir ini menuntun. Jalanan sepi, ya sekarang weekdays. Harusnya sekarang aku mempersiapkan diri untuk ujian skripsi besok. Tapi entah mengapa yang kurasakan masih kosong. Dan tiba-tiba aku sudah berhenti di depan kos mantanku. Aku hanya diam dan memperhatikan tiap detail bangunan hijau dengan pagar tralis abu-abu yang dilapisi plastik tebal berwarna biru langit. Memori-memori sial itu datang lagi, saat pertama kali aku menciumnya tepat di teras kos setelah makan nasi goreng depan gang. Waktu itu pagar tralis ini masih belum dilapisi plastik dan aksi ciuman pertama kami dipegoki pak Warno, satpam perumahan ini, sial.

“Nyari siapa mas?” Suara seorang wanita mengenakan babydoll berwarna kuning pucat bermotif Snoopy memecah lamunanku.

“Eh mbak, ehm… Rintik ada?”

“Oh mbak Rintik, ada kok Mas. Tunggu sebentar.”

Brengsek. Kata-kata itu meluncur begitu saja dari mulutku. Sudah setahun lebih kami putus dan tidak pernah berhubungan lagi, dan kini aku duduk menunggu Rintik di teras kosnya, sambil menyalakan handphoneku dan membuka Instagram, Whatsapp, apapun yang bisa mengalihkan perhatianku. Aku bingung harus berbuat apa, what am i supposed to say?

“Danar”

Here we go. “Eh, hai… Rintik, kamu… apa kabar?”

“Aku baik kok. Tiba-tiba banget ada apa? Sini masuk.”

And like always, tanpa basa-basi. Aku terdiam sambil terus mencoba mengalihkan pandanganku darinya. Anekdot seorang pacar akan terlihat lebih cantik saat sudah menjadi mantan itu nyata. Come on Danar say something, You fucking jackass. “Maaf ya kalo ganggu, aku juga gatau kenapa tiba-tiba kesini. Ehm… kangen mungkin.” Dan cuma itu pilihan alasan itu yang melintas di kepalaku? Oh bagus sekali.

I know you, Danar. Kalo lagi random gini pasti ada yang lagi ganggu pikiranmu kan?”

Makin menyesal rasanya, kenapa aku meninggalkan wanita secantik dan sepeka Rintik. “Kayaknya ada yang salah deh sama aku.” Aku tertawa kikuk. “Akupun gatau aku kenapa.”

“Hmm, yaudah kalo gitu santai aja dulu. Sambil mikir, kubikinin kopi ya?”

“Eh Rintik…”

Less sugar, with cream, right? Kopi favoritmu masih sama kan, atau udah berubah?”

Dan dia masih ingat. “I-iya, masih sama kok.” Fix, seorang Danar dinobatkan sebagai cowok paling brengsek dan goblok karena pernah menyia-nyiakan Rintik. Siang itu kami habiskan dengan berbincang seperti tidak terjadi apa-apa, yet she still become the sweetest girl I’ve ever met, meskipun dulu aku pernah mengecewakannya.

“Eh, bukannya besok kamu sidang?”

“Iya, akupun bingung kenapa malah keluyuran bukannya nyiapin buat besok.”

“Hadeeeh, udah bukan maba lho, masa mau kebut semalem kayak dulu?”

“Bener juga sih, entar bisa-bisa pas ngumpulin ketuker sama laporan lab-mu ya?”

Rintik tertawa. “Ah kayak waktu itu ya? Goblok banget emang.” Suara tawanya langsung mengingatkanku pada sesuatu. Mengalir begitu saja obrolan kami berdua tapi masih kosong. Rasanya masih ada yang kosong.

“Oh iya, tumben gak ngerokok? Kamu udah berhenti ngerokok?”

Seketika itu pula saat mendengar ucapan Rintik, aku langsung beranjak. Terburu-buru mengambil kunci motor dan handphoneku.

“Eh loh, mau kemana, Dan?”

Sambil memasang helm aku menjawab. “Beli rokok, bentar ya bentar.”

Rintik tertawa lagi. “Dasar, tau gitu aku gak perlu ngingetin ya barusan, biar kamu berhenti ngerokok sekalian.”

Aku hanya tertawa canggung. Aku melaju melewati jalanan penuh polisi tidur. Akhirnya aku tahu apa yang hilang. Jalanan makin masuk ke pinggiran kota, mulai sempit dan sepanjang jalan terdapat pohon bunga bougenvile berwarna ungu. Aku sampai di tempat yang kutuju. Berhenti di dekat sebuah jembatan penghubung dua desa, aku duduk di dekat tugu penanda batas desa. Kukeluarkan rokok hitam dari saku celanaku dan kunyalakan dengan pemantik zippo berwarna perak. Kuhisap bakaran pertama dalam-dalam, dan kuhembuskan ke atas.

“Cuma sebatang rokok yang aku butuhkan untuk menambah keberanianku.” Aku menatap ke langit yang cerah. Berharap sahabatku satu itu bisa melihat kegundahanku kali ini. “Aku belum sempat ngabarin kamu, Bil. Besok lusa aku sidang.”

Jembatan ini bukan hanya penghubung antar desa, tapi juga jembatan dimana kawanku menuju eksistensi yang lebih tinggi. Apa kabar sobat? Kau yang dulu memaksaku untuk segera menyatakan perasaanku ke Rintik, yang akhirnya ia berhasil jadi kekasihku karena bantuanmu juga. Kau yang selalu menunjukkan bahwa semua masalah di hidup ini bisa selesai asal dimulai dengan sebatang rokok. Dan sekarang sebatang rokok yang aku hisap tidak lagi sama tanpa seorang Nabil. Hidupku pun juga tak lagi sama seperti dulu.

“Apa kabar sobat?” tanyaku lagi pada langit yang cerah.

-TAMAT-

Berlangganan

Jadilah pembaca setia Filolofi.com dan dapatkan pemberitahuan 
tentang judul cerita terbaru langsung ke emailmu!
Filolofi adalah platform cerita bersambung hasil karya dari beberapa penulis yang dipublikasikan berbasis website sehingga dapat diakses langsung oleh pembaca. Judul atau bagian terbaru akan terbit setiap minggu. Pastikan untuk menjadi pembaca setia Filolofi dan nantikan kisah-kisah menarik setiap minggunya.
Follow
1262
Total Visitors
users linkedin facebook pinterest youtube rss twitter instagram facebook-blank rss-blank linkedin-blank pinterest youtube twitter instagram